Rangkuman awal dari perjalanan panjang sampai hari ini
Akhir aku nulis blog lagi setelah vakum selama hampir 3 tahun, disebabkan karena blog yang lama bermasalah dengan ketidak profesionalan hosting providernya sehingga akhirnya semua datanya hilang dan sudah susah dihubungi. Milih provider itu juga karena sebenarnya dia teman akrab, trus dia mau bantu2 ngurusin domain indonesia yang gratisan, trus aku juga sekalian bantu2 usaha hosting dia, tapi ternyata gabisa diandalin juga, gimana mau maju tuh usaha. Ditambah pada saat itu waktu tiba2 berjalan sangat cepat, berpindah2 tempat disertai banyak tantangan yang menghadang, jadilah keinginan untuk menulis kembali menjadi tertunda terus sampai hari ini.
2008
Akhir masa kuliah
Secara singkat aja, awalnya dimulai dari hari2 terakhir kuliah, sekitar akhir Mei 2008, tugas akhir yang super cepat akhirnya berhasil diserahkan kepada dosen wali dan menunggu wisuda. Sayangnya saat wisuda orang tua tidak jadi datang ke bandung karena ada kecelakaan tepat sehari sebelum berangkat, sehingga aku merayakan wisuda tanpa keluarga, tapi buat aku sebenarnya wisuda juga ga penting2 amat, gitu2 aja pun acaranya. Orang tua terus2an ngingatin untuk siap2 mungkin bentar lagi beasiswa luar negeri pemerintah Aceh dibuka.
Awalnya aku gada niat dikitpun pengen melanjutkan master/S2 karena pertimbangan aku saat itu aku sedang berkobar2nya semangat untuk merintiskan usaha dalam bidang konsultasi IT bersama beberapa teman sekelas ketika kuliah, disaat belum terjebak dengan kebutuhan hidup yang meningkat dengan bertambahnya usia dan lingkungan karir, kredit ini kredit itu, belum lagi ditambah kalau sudah berkeluarga, akan sangat beresiko untuk baru mulai merintis usaha, aku ngerasa disaat tanggung jawab masih kecil, kalaupun terseret2 ditengah jalan, hanya akan menjepit diri sendiri. Selain itu juga, berdasarkan pengamatan pribadi, untuk bidang aku ini, pengalaman jenis dan tingkat kesulitan proyek2 yang pernah ditangani sebelum2nya (portfolio) lebih besar bobotnya daripada gelar akademis. Tapi….berhubung kedua orang tua adalah orang akademisi, mereka sangat berharap minimal aku bisa bergelar master, kalau bisa pun sekalian doktor. Mereka pun tidak tertarik dengan hal2 yang berhubungan dengan bisnis2an, karena terkesan money oriented dan menyusahkan diri sendiri. Walaupun aku punya segudang alasan kuat untuk mengambil jalan hidup ke arah enterpreneurship, tapi sepertinya beradu argumen dengan orang tua bukan jalan terbaik juga, aku memilih sambil tetap meyakinkan mereka dengan jalan yang aku ambil (walopun sebagian besar aktivitas aku merintis bisnis ini tanpa sepengetahuan mereka, karena mereka terlalu khawatiran orangnya), aku juga mencoba mencari keuntungan yang bisa aku dapat lewat gelar akademis.
Akhirnya aku memutuskan memilih jalan tengah dengan mau meneruskan kuliah, dengan pertimbangan utama untuk membuat mereka bangga, pertimbangan berikutnya, ada peluang mengambil jurusan yang campuran bisnis dan informatika, kesempatan jalan2 keluar negeri, kesempatan memperluas jaringan dengan memiliki teman2 dari banyak negara, kesempatan melihat secara langsung/memiliki akses kepada best practicenya industri untuk bidang ini, selain itu juga untuk memudahkan kerjasama bisnis ataupun mendapatkan proyek ke depan, gelar akademis –untuk beberapa derajat– secara psikologis cukup signifikan untuk meningkatkan kesan pertama dan image secara umum dimata client dan partner. Paling tidak, sebelum terlalu mendalam membahas portfolio, gelar itu seperti garansi, bahwa orang tersebut selain punya pengetahuan yang memadai, juga mengerjakan sesuatu secara serius, sistematis, terstruktur, dan memiliki fundamental/basis/referensi/justifikasi yang terpercaya dari setiap keputusan yang diambil, tidak sekedar dari insting.
Selesai mengurus dokumen2 untuk persiapan aplikasi beasiswa, akhirnya aku pulang ke aceh, tapi tanpa membawa pulang semua barang karena aku memang masih merencanakan untuk melanjutkan hidup di bandung, dan juga saat itu aku dan beberapa teman seperjuangan sudah tinggal di kontrakan yang sekalian dipergunakan sebagai kantor2an. Karena telah beberapa tahun tinggal di bandung, aku sudah merasa betah, karena orang2nya yang sangat ramah kepada pendatang, karena cuacanya yang relatif lebih adem, karena kotanya yang dekat kemana2 untuk keperluan apapun, tapi di samping itu, aku punya idealisme dimana aku harus bisa pada akhir memutar rezeki di tanah kelahiranku walopun aku berpindah2 tempat, karena pada kenyataannya berdasarkan pengalaman, orang2 berkualitas didaerah pasti setelah lulus kuliah, hidup dan berkarir di ibukota atau di tempat dia kuliah, kembali pun sekali setahun cuma untuk lebaran atau mencalonkan diri untuk jadi pejabat 😀 tapi mereka juga memang punya alasan, karena di kampung halamannya tentu saja sangat sulit mencari pekerjaan yang sesuai bidang, apalagi contohnya jurusan saya ini. Tapi aku selalu berpikir, apakah mungkin kampung halamanku jadi mandiri kalau orang2 berkualitasnya saja tidak mampu mandiri, dan tidak merasakan secara langsung kehidupan disana, cuma ngirim duit sekali2 dalam setahun, dengan harapan orang2 dikampung halaman bisa bergerak maju sendiri secara otomatis. Jadi, membuat ikatan antara aktivitas yang aku kerjaan di bandung/jakarta dengan yang aku kerjakan di aceh adalah langkah yang ingin aku lewati. Sulit? sudah pasti, sejak awal aku sudah membayangkan kesulitannya, dengan tidak ada modal sama sekali, tapi kembali lagi, setiap orang pasti akan mengalami masa2 sulit dalam hidupnya, cepat atau lambat, dengan mengambil masa2 sulit di waktu muda, sama dengan menabung masa indah untuk masa setelah muda (pake kata tua kayanya kurang okeh nih, soalnya sebelum tua juga maunya udah ada hasil hihihi).
Melamar beasiswa
Sebelum terlalu jauh membahas masalah psikologis, lanjut ke perjalan hidup yang tadi. Beasiswa Pemerintah Aceh untuk tahun 2008 (pertama kalinya teroganisir di bawah komisi khusus untuk manajemen beasiswa. sebelum2nya masih adhok) akhir dibuka. Aku langsung memasukkan lamaran, tapi tanpa tau kapan akan diumumkan hasilnya karena komisi ini baru pertama kali bekerja, sedang meraba2 sistem yang pas. Jadilah aku menunggu tanpa kejelasan. Tapi tentu aku bukan cuma bengong aja, saat itu masih banyak NGO asing yang bekerja di aceh, sambilan mengerjakan beberapa proyek kecil, aku ditawari kerja oleh beberapa alumni ITB asal Aceh yang sudah mempunyai posisi di beberapa NGO ini. Memang rata2 menawarkan pekerjaan bidang IT, tapi aku ingin yang benar2 pas dengan bidang aku, seperti pengembangan sistem informasi, bukan IT yang pasang2 komputer saja. Walopun gaji yang ditawarkan NGO asing itu memang besar2 untuk ukuran aku yang masih fresh, mungkin udah setara gaji pengalaman 3-5 tahun kerja di jakarta, tapi kebanyakan aku tolak, karena aku ingin tetap fokus pada bidang spesialisasi aku. Akhirnya ada satu tawaran menjadi pengembang sistem informasi yang mengagregasi progress implementasi program2 rehabilitasi konflik di aceh dari semua NGO yang ada di aceh agar bisa diakses oleh para donor dan publik international lainnya. Cukup meyakinkan untuk menjadi portfolio, dan aku memang merasa tidak ada saingan saat itu, tapi sayangnya, masa2 aku bersiap untuk menerima keputusan diterima atau tidak disitu berbarengan dengan isu2 pengumuman beasiswa juga akan keluar, jadi aku sudah memberitau sang pewawancara lowongan kerja saat negosiasi gaji, bahwa kalau nanti (kemungkinan besar minggu depannya) aku lulus beasiswa aku akan mengambil beasiswa tersebut dan tidak jadi bekerja, eh ternyata besoknya langsung di koran serambi keluar pengumumannya.
Saat2 itu aku tiap hari rajin sekali nyari koran setiap pagi, siapa tau ada pengumumannya. Dan pagi itu, sekitar bulan agustus 2008, aku melihat namaku di kolom orang2 yang mendapatkan beasiswa ke jerman. 75 orang lulus ke Autralia dan 75 orang ke Jerman. Kalau negara2 lain diumumkan secara terpisah. Aku sebenarnya rada bingung, perasaan tidak pernah memilih jerman, aku memilih amerika, australia dan belanda saat memasukkan aplikasi. Aku tidak pernah membayangkan jalan hidupku justru ke jerman, yang padahal sejak mengenal bahasa jerman ketika SMU aku sudah tidak suka dengan jerman, dan juga dengan berbagai rumor2 dan stereotipe yang berkembang mengenai orang jerman. Aku ingin kuliah ditempat yang bisa menggunakan bahasa inggris dan cocok untuk sekalian belajar best practice dalam berbisnis secara international. Tapi ya mungkin memang banyak yang sebenarnya tidak aku tau tentang jerman. Aku baru menyadarinya aku tidak salah tempat dikemudian hari, setelah hampir 2 tahun di jerman, rupanya Allah mengkombinasikan apa yang aku inginkan dengan apa yang seharusnya aku butuhkan.
Di koran itu disebutkan bahwa kepada semua yang lulus itu harap segera bersiap2, karena mulai bulan depan (september) akan segera diterbangkan ke malaysia untuk training bahasa dan persiapan lainnya. Kebetulan waktu itu sudah mendekati Idul Adha, jadi banyak yang minta untuk diundur setelah Idul Adha, jadilah bulan November. Dan di mulai hari itu, pikiran aku seperti mengawang2, aku seperti tidak merasakan sedang mengalami sesuatu yang besar apapun, aku merasa seperti hari2 biasa, bahkan membaca kata germany aja seperti membaca kata bandung atau jakarta. Sampai saat ini pun terus terang aku seperti melewati hari2 biasa aja seperti dikampung halaman, bukan dalam makna kenyataan, karena kenyataannya aku memang stres beradaptasi disini, tapi ini masalah reaksi otak. Otak aku seperti tidak ada reaksi kejut, wah, atau gimana gitu, yang biasa terjadi ketika akan memasuki pengalaman baru. Otak aku terasa biasa2 aja, tidak ada yang aneh. Ntah ini normal atau ga, tak tau lah. Mungkin juga karena perpindahan tempat yang berjalan begitu cepat. Dari hari2 yang santai di bandung, tiba2 aku sudah bersibuk2 di aceh, lalu di malaysia, lalu di jerman, mungkin otak aku cukup lambat untuk mengikuti perpindahan tubuh aku, sehingga sampai di jermanpun aku seperti merasa masih di bandung.
Mulai persiapan bahasa
berangkat ke malaysia dari bandara sultan iskandar muda sementara
Bulan november 2008, berangkatlah kami 75 orang dari aceh ke German-Malaysian Institute (GMI). Pada dasarnya, tidak ada yang istimewa yang membuat kami ditrainingkan di malaysia daripada di jakarta atau kota2 lain di indonesia. Tapi kalau tidak salah, GMI itu baru dibuka pada tahun itu, dan orang yang mencetuskan berdirinya institute itu adalah orang aceh berwarga negara malaysia yang menjabat ketua kamar dagang jerman-malaysia, jadi ya kebetulan, sedikit mendapat perhatian lebih. Untuk aku sih, justru kesempatan bagus, sekalian merasakan tinggal di malaysia, kalau jakarta kan udah sering.
Kehidupan aku selama di GMI bisa dibilang masa2 paling santai dan jauh lebih santai daripada masa kuliah di bandung atau di jerman sekarang hehe ya karena memang kerjanya cuma belajar bahasa aja. Kegiatan lain tentu saja jalan2 keliling Malaysia. Tapi buat aku yang paling berkesan disitu, bertemu dengan orang2 keturunan aceh yang menjadi petinggi di malaysia, seperti ketua kamar dagang jerman-malaysia, mantan mentri dalam negeri malaysia, dll. sampai2 di beberapa pertemuan, orang2 malaysia sendiri jadi roaming gara2 pidato2nya disampai dalam bahasa aceh hehe Pertemuan2 ini membersitkan sedikit kebanggaan dan meningkatkan kepercayaan diri sebagai orang aceh.
Awal2 di malaysia, seperti juga orang2 aceh lainnya, pasti merasa ada ikatan emosional dengan malaysia ini, selain karena faktor sejarah, juga karena ada hubungan adat dan budaya. Aku sempat berpikir, melihat kemajuan malaysia seperti sekarang ini melihat aceh yang seharusnya, ada perasaan tidak terima melihat malaysia yang dulu sebagiannya merupakan bagian dari aceh, tapi sekarang malah jauh lebih maju daripada aceh. Melihat acara2 tv nya melambungkan pikiran ke masa lalu, seperti ada bagian dari acara2 tv itu bagian dari masa lalu aku juga, seperti film2nya P Ramlee. Aku sebenarnya tidak apakah memang waktu kecil dulu pernah nonton film ini, tapi ada perasaan menyenangkan setiap nonton.
2009
Setelah beberapa bulan sampai hampir setahun di malaysia, ada perubahan dalam pikiran aku, banyak hal2 yang betul2 mengganggu pikiran aku dengan kehidupan disini. Aku terus terang bukan sedang memikirkan masalah sejarah ganyang malaysia, karena buat aku deklarasi perang terhadap malaysia karena tidak mau bergabung dengan indonesia pada waktu itu adalah arogansi yang berakibat justru kekalahan indonesia, duit negara yang harusnya buat membangun infrastruktur malah jadi pembakar emosi rakyat untuk ekspansi teritori indonesia ke malaysia. Aku juga bukan sedang memikirkan TKI yang bermasalah, karena buat aku itu salah negara sendiri yang tidak mengurusnya, malah kedutaan RI disini ikut2an jadi pemangsa TKI-TKI bermasalah ini. Yang sangat menggangu aku adalah sistem politik negaranya, dan juga sistem sosialnya. Saat itu sedang panas2nya politik disana karena partai penguasa (seperti golkarnya pada masa suharto) hampir saja kehilangan mayoritas di parlemen. Di TV hampir semua channel, isi berita politiknya selalu kejelekan partai oposisi dan kebaikan partai penguasa. Tentu menjadi sesuatu yang sangat lucu dengan penggunaan media yang dimonopoli begitu mereka tetap saja hampir kalah, aku sampai terkekeh2 setiap melihat berita politiknya, persis seperti permainan anak kecil. Disamping lucu, ini juga memancing trauma masa2 pemerintahan orde baru di indonesia. Bahkan saat itu aku sempat agak khawatir menulis blog dengan isi yang menyinggung2 masalah politik disana, daripada nanti bagaimana2 mending fokus bisa secepatnya lulus dari training aja. Cuma aku rada khawatir aja, gelombang reformasi disana seperti dipendam2 dengan masih tersedianya sumber daya alam untuk menahan laju gelombang ini, tapi tentu saja ini masalah waktu saja, ada celah sedikit robek deh semua.
Yang juga sangat lucu buat aku, disini hidup tersekat2, antar etnis seperti bukan bertemu orang satu negara, hidup di komunitas masing2, bahkan hampir setiap saat berbicara antar etnis, bahasa yang dipakai bukan bahasa melayu/malaysia tapi justru bahasa inggris, memang disini jadinya sangat terasa suasana internationalnya, tapi identitas negaranya menjadi terasa sangat rapuh. Identitas negara cuma dijaga dengan cara menjaga suku melayu tetap mayoritas, termasuk dengan cara mengimport orang indonesia. Tapi seperti sistem yang dipakai untuk mempertahankan identitas ini di malaysia sudah tidak relevan dan sudah ketinggalan jaman, perlu dicarikan sistem baru, karena politik berbasis etnis tentu saja sangat berbahaya untuk masa depan negara yang multietnis. Dua faktor ini sudah cukup membuat saya ilfeel kalau sampai aceh mengikuti jejak malaysia, mengingat begitu banyaknya orang2 aceh yang berpengaruh yang sekarang merupakan warga malaysia, jangan sampai gemerlap negara lain untuk masa yang pendek ini menyilaukan mereka, karena sejarah pernah membuktikan, kerajaan2 di malaysia pernah mengikuti aceh, bukan sebaliknya.
Balik ke masalah persiapan ke jerman. Ketika kami akhirnya lulus level A1 sebagai syarat minimum mendapat visa pelajar ke jerman, kami jadi sadar ternyata sampai ke semester baru terdekat, waktu yang tersisa untuk persiapan bahasa jerman sampai ke level yang siap untuk kuliah berbahasa jerman ternyata tidak cukup. Akhirnya setelah berembuk dengan komisi beasiswa dan DAAD, diputuskan kita fokus untuk sertifikasi bahasa inggris saja, jadilah kita dialihkan untuk persiapan IELTS dan DAAD memberi rekomendasi kita untuk mengambilkan kuliah yang berbahasa inggris saja. Begitulah nasib kami generasi pertama, masih banyak trial&error. Tapi, saya merasakan justru ini jawaban Allah atas keinginan aku belajar di luar negeri dalam bahasa inggris. Faktor kedua yang akhirnya aku sadari kenapa harus jerman, karena aku ingin memperdalam spesialisasi di area sistem informasi/ERP, tentu saja tidak ada lain kalau ingat ERP tentu ingat SAP, tentu saja tidak ada tempat lain yang lebih baik mempelajari ERP dan SAP kecuali di tempat dia lahir dan bertumbuh kembang sampai seperti saat ini yaitu jerman. Ini pun salah satu poin yang aku tonjol2kan ketika seleksi tahap dua yang dilalukan DAAD (tahap satu dilakukan oleh komisi beasiswa) setelah selesai masa training bahasa, dan sepertinya memang cukup ampuh. Seleksi tahap dua ini menyisakan 35 orang dari 75 orang awalnya. Tapi yang tidak lulus seleksi tahap 2 kali ini masih ada kesempatan sekali lagi beberapa bulan kemudian, dan kalaupun tidak lulus lagi, mereka masih berkesempatan dialihkan ke negara lain, seperti Taiwan atau negara lain yang punya ikatan kerjasama dengan komisi beasiswa.
Cerita yang lebih detil selama di GMI seperti perlu diceritakan di postingan yang lain, karena buat aku masa2 itu memang sangat mengesankan, tapi sekarang lanjut lagi dulu. Jadilah kami 35 orang setiap hari fulltime kursus IELTS di pusat kuala lumpur, sekitar 1 jam dari GMI. Setiap hari diantar jemput pake bus mewah, udah kaya orang2 penting aja (kata guru di kursus). Disitu setiap makan siang kami berkesempatan mencoba makanan di kantin yang berbeda setiap hari, karena banyak gedung2 perkantoran dan tiap gedung biasanya mempunyai satu atau lebih tempat makan untu karyawan yang bekerja disitu. Rasa masakan melayu memang mirip2 masakan indonesia biasanya, tapi untuk standar aceh, jujur aja masakan melayu terasa lebih tawar di lidah, aku lebih senang masakan india. Guru kami orang keturunan srilangka, jadi logatnya ada sedikit bollywood gitu deh, untung aja berhubungan kemampuan speaking kami masih parah jadi ya ngomong english cuma waktu2 tertentu aja kalo terpaksa, jadi pengaruh logat srilanka guru kami tidak seberapa 😀 yang penting ilmu lainnya itu memang sangat bagus pembimbingannya, ga terasa 2 bulan kursus intensif, score IELTS meningkat drastis lebih tinggi dari harapan 🙂 aman sudah jalur menuju jerman, tinggal surat penerimaan dari universitas yang dituju.
Kembali ke Aceh
Training bahasa berakhir dan kita kembali ke aceh. Sisa yang masih akan mengikuti seleksi kesempatan kedua tetap berada di malaysia dan melanjutkan kursus bahasa jerman, dan kemungkin besar mereka akan digabung dengan peserta beasiswa generasi kedua. Kalau tidak salah waktu itu bulan Mei 2009. Selama di aceh kita mendapat pembekalan tambahan mengenai hidup di jerman, sambilan menunggu surat penerimaan dari uni di jerman sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan visa belajar. Alhamdulillah, aku termasuk yang tidak mengalami banyak masalah yang berarti dari awal persiapan sampai ke jerman, berkat doa banyak orang terutama orang tua.
Pada saat itu aku masih punya banyak pilihan uni yang sesuai harapan aku. Awalnya aku sangat ingin ke FH Furtwangen, karena selalu muncul pertama di halaman pencarian uni milik DAAD, dan juga memang kurikulumnya sangat menarik, walopun kota dan uninya bisa dibilang sangat kecil, tapi berada di black forest yang terkenal dan indah. Pilihan2 lain seperti Muenster, Heilbronn, Heidelberg, Fulda juga masuk pertimbangan mengingat masing2 punya kelebihan dan kekurangan sendiri2 berdasarkan preferensi pribadi. Furtwangen ternyata tidak membuka semester untuk musim dingin (mulai oktober) sehingga dengan berat hati akhirnya aku mencoretnya dari pilihan, karena aku juga tidak mau membuang waktu satu semester. Uni2 yang lain juga aku kirimkan semua dokumen dalam bentuk softcopy, karena berkat kekuatan DAAD, kita tidak perlu repot2 mengirimkan dokumen asli sebelum meyakinkan mendapatkan peluang besar untuk diterima. Dari beberapa uni itu akhirnya uni muenster lah yang responnya lancar dan jelas pada saat itu. Aku sudah mendapatkan penerimaan secara informal hanya dengan dokumen softcopy saja, hanya tinggal mengirim dokumen asli dan menunggu surat penerimaan asli, lalu bikin visa, dan siap berangkat.
Tiga bulan lamanya masa2 penantian (sebenarnya sibuk ngurus ini itu) sebelum berangkat ke jerman. Ketika semuanya sudah beres, visa pun udah dapat, aku dapat kesempatan untuk mengunjungi bandung untuk yang terakhir kali sebelum ke jerman. Kebetulan ada partner proyek yang menyediakan tiket PP banda aceh-jakarta-bandung. Beberapa hari bertemu dengan client di jakarta, lalu dilanjutkan perpisahan dengan teman2 di bandung, yah cukup mengesankan juga. Tapi pas pulangnya aku malah demam cukup parah gara2 kurang tidur karena kebanyakan jalan2 dan juga ngurus pindahan “kantor” karena sekarang penghuni tetapnya berkurang dan juga aku harus membawa pulang sisa barang2 dulu jadinya seharian penuh menghisap debu, mana aku alergi debu. Tapi ga masalah soalnya perpisahannya memuaskan. Disamping jalan2, aku juga menyempatkan membeli baju2 musim dingin, berdasarkan saran dari suatu blog, aku mendapatkan salah satu toko di bandung yang khusus menjual pakaian musim dingin untuk orang2 yang akan keluar negeri. Harganya memang cukup tinggi, tapi memang kualitasnya bagus, kebanyakan produk import, dan harga aslinya kalau di beli di luar negeri memang jauh lebih mahal lagi. Ga sadar, pakaian musim dingin itu plus baju2 yang aku mau bawa pulang dari bandung, ternyata udah berat, kepala udah pusing dan agak demam, makin parah deh, tapi mungkin karena hati yang senang jadinya cuek aja, teparnya baru pas sampai di rumah, ga keluar2 rumah selama seminggu.
Berangkat ke Jerman
Akhir bulan Juli 2009 aku sudah siap2 untuk berangkat. Sudah sejak awal persiapan ke jerman aku setiap hari mencari blog orang2 indonesia di jerman, supaya bisa membayangkan bagaimana hidup disana. Lumayan ketemu beberapa blog yang cukup detil, sampe tiap hari pun diupdate, orangnya pun sekarang sudah jadi teman di FB hehe Aku mendengarkan saran bapak, supaya bawa barang gausah ribet2 amat, nanti beli aja disana daripada capek2 bawa banyak2, jadinya cuma 2 koper plus ransel, pas 25 kilo, nyantai selama perjalanan. Persediaan makanan juga seadanya, beberapa indomie, plus rendang kering, sambal goreng, dendeng, standarlah yang tahan lama, tapi itu juga dikit, paling cuma untuk seminggu. Tapi buat aku persiapan paling penting ada rice cooker 😀 karena dari yang aku baca2 di internet katanya walopun ada tapi jauh lebih mahal dan ukurannya besar, kebetulan aku bawa yang ukuran kecil, lebih praktis, ga ngabisin tempat.
Beberapa hari sebelum berangkat aku dibawa keluarga untuk mengunjungi saudara2 biar pada tau aku mau pergi jauh. Ternyata mereka udah banyak yang berubah2 wajahnya dan karakternya. Aku memang sebenarnya agak menyesal kenapa baru ngunjungi mereka di akhir2 gini aja. Aku udah ngerencanainnya dari awal2 pulkam dulu sebenarnya tapi ga jadi2 karena dalam kepala udah penuh sama macam2 urusan.
Malam sebelum berangkat, barang2 sudah siap semua. Gada yang terlalu dramatis juga sih. Keadaan santai2 aja. Aku pun bukan tipe orang yang suka suasana dramatis, terlalu sinetron soalnya hehe Subuh semuanya sudah berada di bandara. Kita naik malaysia airline dengan transit di kuala lumpur. Lumayan lama, sampai 7 jam transitnya, sampe bengong2 udah gatau mau ngapain lagi mutar2 di bandara KL. Pesawat ke jerman berangkat sore hari, selama 12 jam, aku sampe 3 kali tidur bangun belum nyampe2 juga.
Sampai di Jerman
Menjelang mendarat di Frankfurt, aku mulai penasaran, apa bakal kaget sama suhunya. Ternyata pas keluar pesawat rasanya biasa2 aja, agak dingin tapi kaya subuh2 pas di bandung aja. Untung ternyata kita ke jermannya pada musim panas, tapi hari itu hujan makanya ga keliatan kaya musim panas. Dari frankfurt kita naik bus ke kota Marburg, sekitar 1-2 jam dari kota Frankfurt. Sepanjang jalan aku terus2an merhatiin pemandangan, karena memang sangat beda dengan tipikal pemandangan di indo. Banyak ladang2 gandumnya, keliatan baru selesai panen, banyak gulungan2 jerami. Setelah sampai di Marburg barulah terasa suasana jermannya, karena selama dari frankfurt cuma keliatan jalan tol aja sama ladang2 gandum. Marburg itu katanya kecil, tapi bersih dan memang nyaman, tipikal kota2 pelajar, tidak seperti kota industri. Belum juga sampai ke penginapan kita langsung dibawa ke tempat kursus dulu untuk orientasi singkat sambil ngopi2 bentar. Lalu kita ganti bus untuk ke penginapan, lumayan jauh dari pusat kota dan lebih sepi, tapi pemandangan selama bolak balik dari pusat kota bagus, karena ke arah penginapan itu letaknya lebih tinggi dan berbukit2.
Tiba di penginapan, semuanya dibagi2 kamarnya, dipisah2 juga ke beberapa gedung. Aku dapat tempat yang dekat dengan jalan masuk dan lantai 1. Bangunannya keliatan tua memang, tapi memang terasa sekali memang sangat terawat. Semuanya rapi dan teratur. Aku langsung bongkar2 barang dan bertemu teman2 yang lain. Keluar dengan beberapa teman untuk melihat2 sekitar penginapan sekalian beli makanan. Ternyata cuma ada satu toko roti sekitar situ. Jadinya setiap kebutuhan sehari2 memang harus dibeli di pusat kota, yasudahlah hari itu makan roti aja berhubung belum ngerti kemana2, mau bikin indomie juga belum ngerti cara pake alat2 dapur, memang sama sekali ga pernah masak, indomie sekalipun, karena di bandung kalo mau makan indomie pun tinggal ke samping kos ada warung 24 jam.
Kursus bahasa lanjutan di Marburg
Mulai esok harinya, kursus sudah dimulai, dari pagi sampe siang, terus sorenya biasanya ada program jalan2. Berhubung cuacanya adem terus, dan jetlagnya masih sangat kerasa, jadinya bawaannya pengen tidur terus pas siang, sampe tiap program jalan2 sore yang ikutan tinggal setengah dari peserta. Rasanya kursus setengah hari aja udah bikin capek, pengen nyantai2 aja di kamar. Tapi lama2 malu juga, untung pendamping kami cuek aja, walopun mungkin dia merasa aneh dengan tingkah kami. Keanehan lainnya, padahal itu kan musim panas, bule2 pada pake tanktop, tapi buat aku dan kawan2, rasanya masih cukup dingin, jadi minggu2 awal disana selalu pake sweater.
Setelah beberapa minggu, udah ngerti masalah transport, belanja, urusan bank, makan minum, masjid, dll, alur hidup mulai santai. Berhubung kita juga masih bareng2 selalu, memang belum terasa ada beban sama sekali. Kursusnya pun sebenarnya santai, cuma ngerjain tugasnya kadang2 jenuh. Tapi dalam hati sebenarnya ngerasa, gimana nanti kalo udah tinggal sendiri2 ya, apa masih bisa nyantai gini. Waktu itu jujur aja, aku dalam posisi tingkat kepedean yang sangat tinggi, karena banyak hal yang aku khawatirkan sebelum berada disana ternyata hampir tidak terjadi. Seperti sangat banyak cerita juga di Marburg ini, tapi mungkin nanti lebih detilnya (kalau sempat) di ceritain di postingan lain.
Setelah hampir 2 bulan, di akhir September, disaat musim gugur menuju musim dingin, barulah badan mulai agak kesulitan, karena memang angin2nya sangat dingin menusuk tulang, tapi aku masih maksain untuk tidak memakai jaket musim dingin dulu biar katanya badan bisa beradaptasi, karena nanti ketika musim dingin bisa lebih dingin lagi. Cerita lain, saat itu harusnya setiap orang udah mendapatkan penginapan di kota masing2 nantinya karena program kursusnya sudah berakhir. Suasana mulai agak menegangkan kembali. Aku mulai panik karena menjelang minggu terakhir disanapun belum jelas mau tinggal dimana di kota Muenster. Disamping itu juga di Muenster ternyata gada PPI, jadinya gada pusat informasi kalo butuh bantuan untuk yang baru datang. Jadinya aku juga sibuk nyari2 orang2 indo di FB yang berada di Muenster, dan memang susah sekali karena sebagian besar teman2 muenster ternyata ga nyantumin kota tempat tinggalnya sekarang tu muenster. Berbekal 2-3 orang yang akhirnya aku dapatin, aku nyoba kirim2an message, mudah2an tidak merepotkan mereka, soalnya aku tipe orang yang sangat sangat tidak enakan, sangat menghindari mereportkan dan mengganggu orang lain, aku udah terbiasanya semua dikerjain sendiri, kalopun bukan dikerjain ya dibeli sendiri gitu, jadinya untuk minta tolong itu jadi bingung harus pake kalimat yang gimana. Tapi aku berhubung aku juga ngerasa, mudah2an memang gada masalah selama awal2 kedatangan nanti, kalau masalah tempat sudah jelas.
Saking paniknya masalah tempat yang belum jelas, aku sampe berkali2 ngirim email, ke DAAD dan ke studentenwerk muenster, siapa tau mereka tergugah karena kepanikan aku 😀 Tapi akhirnya memang aku dapat tempat, benar2 terasa kelegaan yang tak terkira. Ga kebayang aja harus ngapain lagi kalau sampai belum juga dapat tempat.
Akhirnya hari terakhir tiba, semuanya kebingungan dengan prosedur disini. Hari terakhir bulan ini adalah hari terakhir boleh berapa di tempat ini (itu juga paginya harus langsung keluar), tapi hari pertama di kota tujuan itu besoknya, jadinya siang dan malam ini banyak yang tidak jelas nginap dimana. Aku cukup beruntung karena kebetulan udah booking tiket ICE ke Muenster untuk perjalanan pas malam sebelum tanggal 1 oktober itu, jadinya paling cuma harus ngungsi bentar pas siang. Pas malamnya, kita semua sudah mulai saling berpisah ke kota masing2. Rasanya, ini baru benar2 namanya petualangan, baru benar2 tantangan berat. Baru terasa nyali mulai menegang. Dengan bekal bahasa jerman dan bahasa inggris yang rendah dan juga jarang dipake karena aku jarang ngomong sama orang asing, jadinya aku berusaha mempersiapkan perjalanan ini seminimal mungkin tidak sesuai rencana, aku udah ngatur semua jalur yang aku aku harus lewati dari marburg ke muenster, bahkan foto2 stasiun pun aku perhatiin baik2, biar nanti ga perlu nanya2. Sedikit ringan karena 2 koper aku udah aku kirim pake jasa pengiriman, jadi cuma bawa ransel aja, berharap kopernya nyampe pas hari aku sampe di muenster. Alhamdulillah bisa dibilang perjalanan sangat lancar dan mudah. Cuma agak bengong2 juga selama transit di frankfurt selama 2 jam karena ada waktu istirahat, kereta semua berenti, tempat duduk pun ga ada jadinya mondar mandir aja.
Pas nyampe muenster, langsung disambut hujan, ya ampun kesan pertama benar2 kurang menyenangkan, daun2 berserakan, basah, becek, lebih rame, lebih banyak bule eropanya (aku kan rada2 segan sama bule), padahal pas liat2 di foto sebelumnya kayanya bagus dan semua orang jerman kalo ditanya tentang muenster pasti bilang indah. Di depan bahnhof aku nunggu bus ke alamat apartemen aku. Datangnya bus no 16, yang naik bus padat amat, aku jadi salting sendiri, mana bacaan nama halte dalam busnya tu ga jelas karena aku duduk paling belakang, terus aku agak2 lupa dengan nama halte dimana aku harus turun, ingatan aku bercampur2 dengan nama2 lain. Untungnya aku cuma salah turun satu halte sebelum yang seharusnya. Sempat kehilangan orientasi, karena aku salah turun, aku coba2 jalan ke halte berikutnya, dan akhirnya keliatan gedung2 apartemen seperti di foto dalam ingatan aku, dari situ aku udah tau harus kemana. Ketemu Hausmeister, ttd kontrak, dapat kunci, trus gedung dan kamarnya cari sendiri.
Pas buka kamar, hmmmm kerasa hampa, walopun perabotnya keliatan baru, tapi kasurnya gada bantal dan selimutnya. Yang paling susah, ternyata gada internetnya, serasa kaya ditinggal di tengah hutan sendirian, tapi minimal aku berhasil sampe ke kamar, jadi ga perlu jadi gelandangan walopun untuk beberapa hari aku tidur tanpa selimut dan bantal, karena belum tau apa2 lingkungan disini, aku cuma tau cara ke bahnhof, dan untung disana ada warnet, jadilah tiap hari aku kesitu untuk berbagai urusan. Sampai titik ini, bisa dibilang tingkat kepedean aku masih tinggi. Aku masih enggan bertanya kalo perlu apa2, semuanya dicari sendiri, kalopun gatau aku pasti nyari taunya di internet, ntah kenapa aku gini, memang udah terbiasa aja sejak dari indo dulu. Hal ini lah yang di waktu2 selanjutnya benar2 membuat aku tersiksa karena ternyata tantangan disini benar2 diluar perkiraan aku, bahkan lebih dari perkiraan jelek aku.
Masa-masa suram di Muenster
Jujur aja, bisa dibilang, kehidupan selama tahun pertama di muenster sangat mengecewakan. Sangat-sangat banyak masalah dan aku sendiripun malas untuk mengingatnya. Bisa dibilang, selama aku hidup, kayanya ini adalah titik terendah dalam hidup aku. Aku di press habis2an, bukan dari sisi otak, tapi dari sisi mental. Sangat sulit untuk menceritakan kembali semuanya karena waktu itu, menceritakannya pun aku jadi malas, walopun pada akhirnya sebenarnya semuanya kembali menjadi baik2 saja. Kalau bisa aku rangkum, intinya aku kekurangan masa orientasi, aku ga punya teman sama sekali yang senasib ketika awal2 disini sehingga sulit berbagi, keengganan aku untuk bertanya, ditambah dengan masalah pribadi lainnya yang menghabiskan energi. Kekurangan masa orientasi ini buat aku terasa sekali, terutama masalah sosial di kampus. Banyak hal yang membuat aku shock dan down. Terlalu banyak untuk dirinci. Sampai2 6 bulan pertama praktis aku cuma bolak balik kamar-kelas aja, hampir ga bergaul dengan siapa2. Teman sekelas mayoritas orang jerman, mereka masing2 udah punya “geng”-nya masing2, dan anak internationalnya cuma sedikit, dan mereka rata2 udah jauh lebih lama berada di jerman atau negara eropa lainnya, walopun mungkin aja ada beberapa yang sama dengan nasib aku, tapi dengan perbandingan yang kecil dibanding total isi kelas, jadinya mustahil aku ketemu yang senasib secara otomatis. Aku masih berusaha berteman dengan siapa aja, tapi tetap aja, masa awal2 tentu aja banyak hal yang ingin kita ungkapkan, tapi gada teman yang sesuai, ditambah aku orangnya yang tertutup, jadinya banyak masalah yang akhirnya terpendam, yang bikin aku malah makin malas bergaul.
Praktis selama satu semester pertama aku hampir ga pernah ketemu orang indo sama sekali, sedangkan dengan tumpukan masalah2 aku jadi malas bertemu dengan orang2 asing lainnya karena aku merasa ga nyaman untuk menceritakan masalah pribadi. Disamping itu juga aku ga mungkin juga cerita dengan orang tua, karena aku tau mereka akan lebih khawatir daripada aku sendiri yang akhir2nya justru bikin aku makin gabisa tenang. Dari setiap masalah yang datang, aku cuma berharap masalahnya hilang dengan sendirinya dan ada jalan keluar sendiri. Aku jadi sulit tidur setiap terpikir setiap masalah. Aku selalu merasa seperti tempatku bukan disini, aku terus2an berpikir tentang rencana2 aku dulu seandainya tidak jadi ke jerman. Aku merasa tidak cocok berada disini. Semuanya membuat aku trauma, sampai2 setiap tidur aku cuma bisa berdoa2 aja karena merasa udah gatau harus gimana. Aku udah ga peduli apa2 lagi, cuma pasrah aja, sampai2 semester pertama itu aku tidak mengikuti ujian sama sekali. Aku merasa, sepertinya aku butuh istirahat panjang untuk menenangkan diri dan merajut kembali kekusutan ini. Aku harus memilah2 ulang, apa yang salah apa yang benar. Sebenarnya aku banyak menemukan teman, yang datang dan pergi, mereka baik2, tapi tetap aja gada hubungan dengan masalah2 aku dan tetap bikin aku gabisa akrab dengan mereka, karena rata2 semuanya cuma sementara.
Titik Balik
Di saat2 seperti itu, sekalipun aku tau, aku banyak salah sendiri dalam ngadapin masalah2 itu, aku yakin Allah tau bahwa kondisi mental aku saat itu memang tidak stabil yang membuat aku sering mengambil langkah yang salah. Setiap mau tidur aku baru bisa tertidur setelah menenangkan diri bahwa Allah akan ngasih jalan keluar, karena aku benar2 kacau saat itu. Musim gugur dan dingin dengan salju2nya yang indah pun tidak terasa sama sekali dan berjalan sangat cepat, karena semuanya cuma melihatnya sekali2 dari jendela. Hambar dan menjenuhkan.
Singkat cerita, mulai semester kedua, saat cuacanya menghangat, aku merasa udah cukup istirahat dan hati tenang, dan kehidupan berubah drastis. Sensasinya gada bandingannya sebelum2nya. Aku benar2 merasa, selama semester pertama dulu aku memang sedang di uji. Satu persatu masalah aku selesai bahkan tanpa aku rencanakan apa2, semua berjalan dengan sendirinya. Teman2 mulai berdatangan, mulai ada orang2 indo yang ngajak2 ketemu, mulai ketemu teman2 yang justru nasibnya lebih susah daripada aku, mulai sekali2 jalan2 keluar kota, mulai nyambung pas kuliah, mulai lebih lancar kalo ngomong dan presentasi, ujian semester pertama dan kedua pun aku kerjain sekaligus dalam satu semester, hal yang mungkin tidak mungkin dalam keadaan biasa. Hingga akhirnya akhir semester kedua itu aku sepert bebas dari penjara. Aku seperti hidup kembali. Rasanya seperti melayang2. Setiap ada masalah baru pun rasanya udah sepele aja dibanding keadaan aku pada semester pertama. Ditambah dengan berhasilnya project seminar pada semester 3 dimana pertama kalinya aku sendirian bekerja aktif dalam kelompok yang anggota lainnya ada mahasiswa2 jerman paling aktif di kelas. Hal itu sangat efektif menutupi beberapa masalah yang aku alami pada semester 3 itu. Aku banyak belajar dari pengalaman2 itu. Bukan ilmu di kampus, tapi pengalaman hidup. Tapi sekarang aku justru takut kalo aku sampe terlalu menyepelekan pekerjaan yang harus aku selesaikan, karena memang sekarang terasa begitu santai. Aku menemukan kembali kepercayaan diri. Dan proses ini masih berlanjut sampai sekarang. Ntah aku benar2 bisa memanfaatkan masa2 lapang ini, ataukah aku bakal menyia2kannya dan menunggu masa2 sulit datang kembali. Untuk masalah kuliah, aku tinggal selangkah lagi untuk menyelesaikannya, tapi untuk target2 aku yang lainnya, yang jauh lebih besar dari ini, aku perlu menjaga motivasi dan mental aku tetap positif dan konsisten. Mudah2an Allah tetap tidak pernah melupakan aku sekalipun aku sering berada dalam keadaan iman yang naik turun. Amin.
Recent Comments